Beyond the Call of Duty

MARI MEMBERANTAS KORUPSI DIMULAI DARI DIRI SENDIRI, JANGAN MEMBERI & MENERIMA SOGOK & SUAP

Memanjat Pohon yang Salah

Kps:14-09-06
Komaruddin Hidayat
Ibarat memanjat pohon yang amat tinggi, bangsa Indonesia telah mengeluarkan ongkos yang teramat mahal, baik tenaga, kekayaan alam, utang luar negeri, maupun modal sosial, untuk sampai ke puncak. Tetapi, sungguh ironis, sesampai di puncak pohon ternyata buah yang didambakan tidak ada. Yang berbuah rupanya pohon tetangga.
Judul tulisan ini saya pinjam dari Dr Gede Raka, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), saat berjumpa dalam satu forum lokakarya pendidikan. Belajar dari berbagai negara maju, ada dua pilar yang harus dibangun secara serius oleh Pemerintah Indonesia kalau ingin maju secara bermartabat, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih dan cerdas serta pendidikan yang bagus.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan China, misalnya, dua bidang itu menjadi prioritas utama sehingga buahnya mulai terlihat dan dirasakan. Sementara Indonesia, karena kedua bidang ini terabaikan, sekian banyak biaya telah habis, tetapi ujungnya justru kebingungan dan kebangkrutan.
Pendidikan jalan di tempat
Pendidikan sering dipahami dalam pengertiannya yang sempit berupa kegiatan belajar yang berlangsung dalam ruang sekolah. Lebih mengerucut lagi, pendidikan diperas menjadi semacam kursus dengan target akhir memperoleh ijazah sebagai modal melamar pekerjaan. Padahal, dalam pengertiannya yang luas, pendidikan adalah upaya sistematis untuk membangun kebudayaan dan peradaban sebuah bangsa. Carut-marut kebudayaan dan peradaban Indonesia yang kita saksikan saat ini berakar pada kegagalan pendidikan kita.
Merancang sebuah pendidikan selalu mempertimbangkan agenda besar pembangunan bangsa dan kondisi global. Jika korupsi ternyata telah menggerogoti seluruh upaya dan hasil pembangunan, pendidikan karakter dan apresiasi pada hukum menjadi sangat vital. Ketika produk asing membanjiri Indonesia, padahal bangsa ini kaya dengan segala macam bahan baku alam, berarti bidang keterampilan dan iptek serta wawasan global harus ditingkatkan agar kita juga bisa jadi bangsa eksportir.
Akan tetapi, mengapa pendidikan kita berjalan di tempat? Karena, sejauh ini pemerintah belum menunjukkan visi, program strategis, dan tekad untuk memajukan dunia pendidikan agar kompetitif dengan bangsa lain. Pemerintah Orde Baru yang paling berkuasa tidak setia dengan spirit dan visi lagu kebangsaan Indonesia Raya: "Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya!", tetapi lebih mementingkan badan atau fisik. Itu pun dengan cara tidak cerdas (smart) dan tidak bersih (clean).
Ketika pendidikan tidak bermutu, berapa pun biaya yang keluar hanya akan melahirkan sarjana yang juga tidak mutu. Kondisi semakin parah ketika birokrasi pemerintahan dan dunia bisnis penuh dengan praktik korupsi. Akibatnya, proses sosial politik yang berlangsung hanya akan semakin memperburuk keadaan jika pemerintah ataupun yang diperintah berkolusi untuk melanggengkan kebodohan dan korupsi. Kita harus menyatakan "perang" terhadap korupsi.
Menyelamatkan yang tersisa
Kalimat "menyelamatkan yang tersisa" bisa dilihat sebagai sikap pesimistis dan berlebihan, tetapi bisa juga sebagai kesadaran yang realistis sehingga menggugah patriotisme dan semangat juang. Coba saja adakan penelitian dalam berbagai aspek dan aset bangsa, baik dari segi kekayaan alam, lembaga keuangan, pendidikan, atlet, negarawan, ilmuwan, dan mungkin juga dunia perbankan.
Bangsa ini semakin miskin negarawan, sekian BUMN selalu saja dinyatakan merugi, puluhan pesawat terbang tak lagi mampu beroperasi, transportasi kapal laut kian menyusut, satwa langka kian punah, hutan setiap hari berkurang, lahan pertanian menyempit, lapangan kerja bertambah sulit, dan seterusnya.
Untuk menyelamatkan yang tersisa, salah satu jalan strategis dan mutlak adalah menegakkan pemerintahan yang bersih, cerdas dan tegas dalam pelaksanaan hukum, serta melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan dan riset.
Belajar dari negara kecil semacam Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura, terbukti bahwa intellectual and moral capital jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang natural capital melimpah, tetapi minus keduanya.
Dari keenam presiden yang pernah tampil masing-masing memiliki peran dan visi pemerintahan yang khas. Sosok Bung Karno dikenal sebagai state/nation builder, yaitu bagaimana membangun dan memelihara keutuhan bangsa dengan segala potensi kekayaan alamnya agar menjadi bangsa yang terhormat di mata dunia. Kala itu konflik yang muncul lebih bersifat ideologis yang telah membuat dirinya tergelincir dan terpelanting di atas jalan besar kekuasaan yang dia bangun sendiri.
Lalu, muncul Pak Harto yang dikenal sebagai "Bapak Pembangunan" dan Market Builder. Namun, sekelompok orang menyebutnya sebagai Pseudo Market Builder karena yang terjadi justru bangsa ini terjerat utang, sementara kekayaan alamnya banyak yang tergadaikan. Jika Bung Karno terdepak akibat pergulatan politis-ideologis, Pak Harto harus turun akibat deru pergulatan kapitalisme dan modal asing yang dia panggil tanpa kekuatan pengendali.
Ketika BJ Habibie naik, praktis tak sempat berbuat banyak. Lalu, tampil Gus Dur dan Megawati yang dianggap mewakili gerakan masyarakat yang terpinggirkan oleh retorika dan deru modernisasi yang diusung Orde Baru. Dalam hal ini Gus Dur cukup menonjol perannya sebagai pejuang demokrasi, civil society, hak-hak asasi manusia, dan pembela kelompok minoritas.
Jika direnungkan, sejauh ini sesungguhnya kita memiliki rekaman dan pengalaman bagaimana membangun bangsa (Bung Karno), memajukan ekonomi (Pak Harto), dan menegakkan demokrasi/civil society (Gus Dur). Ketiga aspek ini sangat vital dan fundamental bagi pembangunan Indonesia modern sehingga ketiganya harus ditata, dipelihara, dan dikembangkan secara serempak.
Saat ini agenda yang sangat mendesak adalah bagaimana memunculkan pemerintahan yang cerdas, bersih, visioner, serta memiliki komitmen kuat pada bidang pendidikan agar semakin tinggi kita memanjat pohon, bukannya semakin kecele dan semakin tinggi jatuhnya, atau ibarat menggali sumber gas alam jangan sampai yang keluar adalah lumpur panas. Kita tidak bisa lagi berdalih dengan jargon masa transisi serta menyalahkan masa lalu. Kebutuhan anak-anak bangsa untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan tidak mengenal masa transisi.
Jejaring kehidupan
Dalam dunia pendidikan bermunculan kritik tajam terhadap warisan paradigma abad industri yang bersikap agresif dan eksploitatif terhadap alam untuk mengejar profit dan akumulasi modal, dengan mantra "efisiensi", "akselerasi", dan "persaingan bebas".
Fitjof Capra, misalnya, dalam bukunya, The Web of Life, secara sangat ilmiah dan menyentuh perasaan mengungkapkan bahwa manusia tak akan survive hidupnya kalau tidak mampu memelihara harmoni dan jejaring kehidupan, termasuk dengan lingkungan alamnya. Manusia pasti akan kalah kalau bermusuhan melawan alam. Itulah sebabnya, dalam bahasa teologi, bumi ini disebut "ibu" (mother earth) karena bumilah yang senantiasa mengasuh dan menyuplai seluruh kebutuhan manusia. Namun, sangat disesalkan, manusia tidak pandai berterima kasih dan bahkan sombong terhadap mother earth.
Berbagai penelitian ilmiah mutakhir menunjukkan temuan-temuan baru bahwa semua benda yang selama ini kita anggap "bisu dan mati" ternyata memiliki "jiwa" dan bereaksi terhadap sikap manusia. Jika sekelompok bangsa/masyarakat menaruh kasih terhadap air, pohon, hewan, dan lingkungan habitatnya, mereka akan membalas cinta kasih manusia. Temuan ini semakin memperoleh dukungan ilmiah, bukan lagi dianggap mitos. Jadi, amukan alam akhir-akhir ini pasti akibat perilaku kita yang tidak santun dan cinta pada lingkungan alam, sang Ibu Pertiwi?
Komaruddin Hidayat Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta